sore itu, ketika hujan lebat tengah mengguyur sebagian besar kota
Kalingga. Terlihat sebuah mobil mewah berwarna hitam memasuki areal
Rumah Sakit Bintang, tampaknya mobil tersebut tengah membawa penumpang
yang sedari tadi berkutat dengan rasa khawatir dan panik.
Para suster
telah menunggu, stand by dengan sebuah kursi roda yang nampaknya sudah
disiapkan untuk diduduki oleh seorang pasien. Dan benar saja, mobil
tersebut memuntahkan seorang laki-laki dan wanita muda yang tengah
mengalami pendarahan pada kandungannya. Wanita tersebut langsung dirujuk
ke ruang bersalin, sementara sang pria yang tak lain adalah suaminya
hanya diperbolehkan mengantar sampai di koridor depan tempat bersalin
istrinya.
Setelah sekian jam terbunuh, akhirnya penantian berbuah
hasil. Susan, wanita yang sejak tadi memperjuangkan hidup dan mati
tersebut kini dapat bernafas lega. Buah hati yang selama 9 bulan
dikandung dengan penuh perjuangan tersebut akhirnya lahir ke dunia
dengan jalan sesar. Ini adalah anak yang ketiga dari hasil perkawinan
mereka.
Jodi, yang tak lain adalah nama dari pria itu terlihat masih menunggu.
Sudah hampir 3 jam ia menunggu, tapi sama sekali belum mendengar
tangisan bayi. Namun dari kejauhan terlihat pria berpostur agak tinggi
dengan segera mendekati Jodi.
“Selamat Pak Jodi, anak bapak telah
lahir dengan selamat. Tapi...” kata seorang pria berjas putih yang
sebagian wajahnya ditutupi masker berwarna hijau.
“Tapi kenapa Dok? Lalu bagaimana keadaan istri saya, apa dia baik-baik saja?” sambut pria itu heran sembari mengernyitkan alis.
“Istri
bapak baik-baik saja, ya.. bapak bisa lihat sendiri lah. Terlalu berat
untuk saya menyampaikannya kepada bapak, dan bapak pun harus tabah
menerima kenyataan ini.” sambung sang dokter tersenyum tipis di balik
balutan masker, sebelum akhirnya berlalu meninggalkan Jodi yang tertegun
dengan tanda tanya besarnya.
Terlihat Susan terdiam diatas ranjang putih dengan pandangan kosong dan mata sayu.
“Apa yang terjadi pada bayi kita?” tanya Jodi khawatir.
Susan
tetap diam seribu bahasa, pandangannya hanya tertuju pada sebuah box
bayi yang ternyata didalamnya terdapat sang buah hati.
“Ayo jawab Susan, kenapa diam saja?” Jodi semakin geram sambil menggoyangkan kedua lengan istrinya.
“Anak
kita Mas. Dari awal ia diangkat dari rahim ini, aku belum mendengar
sedikitpun ia menangis.” jawan Susan, masih memandangi box dengan
tatapan kosong.
“Kau serius?” sambung Jodi menyakinkan.
“Aku tak tahu, mungkin aku yang terlalu berhalusinasi. Atau..”
“TIDAK!
Tidak mungkin, aku tidak percaya!” tukas Jodi tak yakin dengan
kesaksian istrinya. Jantungnya seakan berhenti sejenak, aliran darah
seakan mengalir tak terarah dari arus normalnya.
Suara gemuruh petir
disertai hujan yang begitu deras malam itu menyertai peristiwa miris
pasangan suami istri tersebut. Dan tak ada yang tau apa yang terjadi
setelah malam itu berlalu.
Seorang gadis remaja yang kira-kira
umurnya baru menginjak 17 tahun, tengah berlari tunggang-langgang
ditengah keramaian pasar malam. Sepertinya ia sedang dikejar oleh Pol PP
yang malam itu sedang mengadakan penertiban terhadap gelandangan dan
pengemis.
Orang-orang terpostur kekar itu telah berhasil menangkap
sebagian dari gelandangan yang biasa mengadu nasib di seputaran Pasar
Sengol. Namun, sebagiannya lagi berhasil kabur menuju tempat
persembunyian mereka. Biasanya para gelandangan yang berhasil kabur
tersebut sudah mahir dan profesional dalam mengantisipasi bahaya razia
itu. Tak ayal bila mereka dengan mudah bisa lolos dari sergapan para
Satpol PP.
Mobil-mobil besar dengan belasan gepeng di dalamnya telah
pergi meninggalkan hiruk pikuknya Pasar Sengol. Terlihat gadis remaja
berpenampilan lusuh dengan rambut panjang terurai terdiam sembari
menatap belasan teman seperjuangannya yang tertangkap. Memakai topi yang
ujungnya diputar 180 derajat ke belakang menambah berandalnya raut
gadis yang sebenarnya berperangai polos itu.
Berbekal sebuah gitar
kecil, langkah gadis yang biasa dipanggil Lara ini kian mantap menyisir
setapak demi setapak sebuah jalan raya yang terbilang lengang itu.
Makhlum, jika sudah memasuki pukul 11 malam, jalanan di Kota Kalingga
ini memang sudah sepi. Biasanya yang berlalu-lalang ketika ini hanya
gelandangan yang tengah mencari tempat untuk beristirahat dan berlindung
dari dinginnya malam yang menusuk.
Sepertinya Lara telah menemukan
tempat tujuannya. Ya, sebuah emperan toko yang cukup luas nyaman untuk
berbaring dan memainkan beberapa lagu dengan gitar kecilnya, sembari
membunuh rasa takut akan kejamnya kehidupan di dunia. Tak ada yang bisa
dipakai untuk membalut tubuh dari dinginnya hawa selain baju tipis yang
melekat pada tubuh Lara. Dengan rasa iba pada diri, gadis itu pun mulai
memetik senar-senar tipis bernada ritmis itu. Petikan-petikan itu
bernada sendu, pas betul dengan kondisi hidupnya sekarang. Tanpa sadar
ia pun mulai terlelap.
“Heh gembel, bangun! Enak saja tidur di depan kios orang, pelangganku pada pergi tuh.. cepat bangun, heh!”
Tiba-tiba
Lara dikejutkan oleh suara ribut-ribut. Lara membuka mata sembari
mengusapnya. Tahu-tahu di depannya sudah berdiri seorang wanita paruh
baya dengan raut murka. Dan raut tersebut ditujukan pada Lara yang telah
menumpang tidur di depan kios wanita tersebut.
Seusai membereskan barang bawaannya, Lara langsung pergi meninggalkan wanita pemarah dengan kiosnya itu.
Pagi
ini memang cerah, namun raut Lara tak pernah sekalipun terlihat cerah.
Dalam cerahnya dunia ini, ia masih merasakan redup dalan jiwanya. Dalam
terangnya langit pagi ini, masih ada celah gelap di setiap rongga
kehidupannya. Semua saling bersinergi membentuk paradoks dalam realita
hidup seorang Lara.
Tak ada yang lebih indah bagi Lara selain
memetik senar-senar ritmis dari gitar kesayangannya itu. Nada-nada indah
selalu tercipta dengan alunan harmoni yang spektakuler. Ia tak pernah
memberi nama setiap melodi yang ia ciptakan, ia hanya ingin
melodi-melodi itu bebas tanpa terikat oleh apa pun dari dalam dirinya.
“Wah, merdu sekali petikan-petikan gitarmu Nak!”
Tiba-tiba
dari arah belakang terdengar suara seorang pria yang tak pernah ia
kenal sebelumnya. Bila dilihat dari penampilannya yang menggunakan
setelan jas hitam dan sepatu yang mengkilap, sepertinya ia orang yang
terpandang dan tentunya kaya.
Lara melongo menatap pria tersebut,
tanpa sepatah kata pun untuk membalas pujian sang pria. Ia hanya bisa
tersenyum tipis dan mengangguk : tanda berterimakasih.
“Lho, kok cuma senyum? Siapa namamu, boleh Om tau?” tanya pria itu lagi seolah memaksa karena merasa tak ada respon jawaban.
Karena
terdesak, Lara langsung meraih kertas dan pensil dari dalam tas
lusuhnya dan menulis nama “Larasati. Boleh dipanggil Lara.” pada
permukaan kertas putih tersebut. Lalu memperlihatkannya pada pria itu
sembari tersenyum lebar.
Pria itu mengernyitkan kening seolah bertanya pada dirinya, “Apa dia bisu?!”
Lara
menurunkan senyum lebarnya ke bentuk awal, ia kebingungan melihat
tampang sang pria. Dan pemandangan itu berlangsung sekitar beberapa
detik sebelum akhirnya seorang pria lain berpakaian dinas mendatangi
pria bersetelan jas hitam tersebut.
“Lapor Pak Jodi, rapat dewan akan segera dimulai. Mohon bapak berkenan mesuk ke dalam mobil untuk menuju gedung DPRD.”
Pria
berseragam dinas itu, yang ternyata asisten dari Jodi Dharmawan,
seorang pengusaha kaya dan sekaligus sebagai ketua DPRD Kabupaten
Kalingga.
“Oh, baik. Sekarang saya menuju ke sana. Tapi, beri saya waktu 3 menit lagi.”
“Baik Pak!”
Sebelum
pergi Jodi menyempatkan diri untuk pamit pada Lara. Entah kenapa Jodi
merasakan getaran yang tak asing dari diri gadis itu. Seperti ada ikatan
batin diantara mereka berdua. Lara pun merasakan hal itu, tapi ia tak
punya keluarga bagaimana mungkin Lara bisa percaya tentang ikatan batin
diantara Jodi dan dirinya.
“Boleh lain kali Om menjumpai kamu di tempat ini lagi Lara?” tanya Jodi ramah.
“Hemm....”
Lara hanya mengangguk tanda setuju, karena tak ada yang bisa ia ucapkan selain memperlihatkan bahasa tubuh.
Seiring
dengan itu, Jodi tengah bersiap-siap untuk berangkat dengan asistennya.
Ia masih sempat melambaikan tangan pada Lara. Entah mengapa pertemuan
singkat itu menjadi pertemuan yang istimewa bagi seorang ketua DPRD yang
selalu sibuk berkutat dengan urusan politik dan sosial.
“Sampai jumpa Lara...”
Lara turut membalas dengan lambaian tangan.
Berawal
dari sebuah petikan gitar. Jodi dan Lara menjadi sering bertemu
semenjak kejadian itu. Mereka terlihat akrab layaknya ayah dan anak.
Lara juga dibelikan baju baru, sepatu baru, tas baru, dan gitar baru
yang membuat Lara makin berbunga-bunga. Selepas bekerja Jodi selalu
menyempatkan diri untuk bertemu Lara.
Taman Kota Kalingga adalah
saksi bisu bertemunya dua insan yang saling berparadoks dalam kehidupan
mereka masing-masing. Benar-benar mukjizat Tuhan yang maha sempurna.
Mereka sering jalan-jalan bersama, bercerita bersama dan menyanyi
bersama dengan iringan gitar Lara. Hingga tak disadari karisma seorang
pemimpin sudah tak nampak lagi pada perangai Jodi, yang ada hanya
karisma seorang ayah.
******
“Aku sudah membuang bayi itu!”
“Apa?
Apa kau sudah gila Susan? Itu darah daging kita, tega nian kau seorang
ibu berbuat seperti itu! Dimana kau buang anakku? JAWAB!!!”
Jodi tak
percaya istrinya akan berbuat sekeji itu. Namun terlambat, bayi itu
telah dibuang ketika Jodi tengah bertugas di luar pulau Bali.
“Di
TPA. Dan mungkin sekarang dia sudah mati dimakan anjing. Sudahlah,
anggap saja aku tidak melahirkan lagi setelah Victor dan Ria : anak
pertama dan kedua Susan.
“Kau itu benar-benar.... aaaagghhhhh!!!!”
Hampir
saja tangan Jodi melayang ke pipi kanan Susan, namun tertahan dan
dihempaskan ke arah lain. Jodi tak ingin membuat perkara lebih panjang
dengan istrinya yang sudah berjasa membesarkan kedua anaknya hingga
mereka berhasil seperti sekarang. Namun, di sisi lain Jodi tidak mungkin
melaporkan istrinya ke polisi atas tindakan kriminal pembuangan bayi.
Dibalik jabatan tingginya, ia sekeluarga dan rumah sakit yang dulu
menjadi saksi bisu kelahiran bayi malang itu menutup rapat-rapat rahasia
ini. Dengan uang kerjasama pun berjalan dengan lancar dengan pihak
rumah sakit.
*****
Lara kebingungan melihat Jodi yang tengah
hanyut dalam lamunannya. Ia mencoba untuk menyadarkannya dengan
menyenggol lengan pria itu.
“Eh Lara, maaf. Om...”
Jodi tak sadar
bahwa barusan flashback dari masa lalunya terputar kembali. Ia teringat
dengan putrinya yang dibuang. Kembali ia menatap Lara yang sedari tadi
memperhatikannya.
“Apa mungkin, apa mungkin kau putriku yang hilang itu? Katakan padaku Lara sayang..” ucap Jodi dalam hati.
“Jika Om boleh tau, siapa orang tuamu? Dan kau tinggal di mana Nak?”
Lara terdiam. Mulai meraih kertas dan pensil kesayangannya, lalu menulis.
“Saya
tidak punya orang tua. Saya tidak punya rumah. Saya hanya punya gitar.
Saya lahir dari sampah, mungkin orang tua saya adalah sampah.”
Kata-kata
yang polos atau mungkin tidak polos sama sekali bagi Jodi, membuat ia
tercengang akan kesaksian Lara. Bagaimana mungkin ia bisa berkata
seperti itu.
Namun di benak Lara, itu hanya kata-kata biasa yang tak
ia tau persis maknanya. Makhlum, Lara belum sempat mengenyam bangku
sekolah selama hidupnya. Tapi Lara punya semangat yang tinggi untuk
belajar, buktinya ia bisa menulis meskipun ada banyak makna yang ia tak
mengerti. Bahkan ia tak pernah tau apa itu orang tua, yang ia tahu hanya
sampah. Dan mungkin, Lara juga tidak tahu apa itu sampah. Tak ada
bedanya.
Jodi masih terjebak dalam keterkejutannya. Ia mulai
memutar balik otak dan ingatannya. Mulai membuka kembali
lembaran-lembaran album suram yang telah terkubur rapi oleh kebusukan.
Tak lama kemudian ia tersadar. Sadar akan gadis yang ada di depannya itu
adalah benar anak kandungnya yang telah lama hilang 17 tahun yang lalu.
“Lara, mau ya jadi anaknya Om?”
Lara hening sejenak. Mencoba menyadarkan diri, ia tak bermimpi. Lara meyakinkan sekali lagi dengan bahasa tubuhnya.
“Benar Lara, Om serius. Dan sekarang juga kamu akan Om ajak ke rumah Om, gimana? Mau ya?”
Seperti mendapat 2 Joker dan 4 As sekaligus, ini keberuntungan yang sulit dipercaya oleh Lara.
Lara mengangguk tanda setuju.
Sungguh
ajaib. Dalam hitungan beberapa detik hidup Lara berubah 360 derajat.
Dari meminta sedekah, kini mampu memberi sedekah. Baju lusuhnya berubah
seketika menjadi dress putih yang cantik dan mewah. Rambutnya yang kusam
tak terawat itu dirombak habis-habisan oleh hairstyles kepercayaan Jodi
di salon yang cukup megah dan elite.
Beberapa jam yang lalu Lara
masuk ke salon sebagai Lara yang kumuh dan lusuh. Namun 2 jam kedepan,
keluarlah seorang putri cantik dengan rambut yang telah dismoothing dan
wajah yang berbinar-binar. Kini Lara telah siap memasuki rumah megah
orang nomor satu di Kalingga, Jodi Dharmawan.
Jodi dan Lara akhirnya
sampai di rumah kediaman Jodi. Mereka disambut oleh pekarangan yang luas
nan asri, dengan kolam renang besar di sisi kanan dan taman yang indah
disisi kiri. Tampak dari kaca mobil bola mata Lara terbelalak dan
menyapu seluruh isi pekarangan rumah itu. Bila pekarangannya saja sudah
megah begini, lantas bagaimana isi di dalam rumahnya? Batin Lara
bergumam.
Benar saja, rumah Jodi sangat megah dan indah. Ada 4 pilar
besar yang terbuat dari bahan marmer menyambut kedatangan mereka. Rumah
itu terlihat berkilau, karena 90% bahan luar dari rumah itu adalah
bidang-bidang marmer putih yang mahal. Rumah itu tampak elegant berdiri
kokoh di depan Lara.
Jika tadi Lara telah dimanjakan oleh keadaan
rumah yang super mewah itu, kini ia harus terkagum-kagum ria juga
dengan fasilitas yang dimiliki rumah tersebut. Dua orang security datang
menghadap pada Jodi selaku tuan rumah. Lalu mereka membukakan pintu dan
mengawal kedua majikannya memasuki rumah.
“Nah, Lara. Sekarang ini rumah barumu, dan sekarang Om akan tunjukkan di mana kamarmu.” kata Jodi sembari menuntun Lara.
“Dan,
ini dia kamar barumu. Om harap kamu suka ya Nak? Sekarang Om harus
pergi dulu, ada rapat penting yang harus Om hadiri. Baik-baik di sini ya
Sayang.”
Setelah menunjukkan kamar pada Lara, Jodi langsung
meninggalkan Lara dengan kamar barunya itu. Dengan sebuah lambaian
tangan oleh Jodi dan dibalas pula oleh Lara, Jodi mengakhiri kebersamaan
mereka.
“Siapa gadis itu, Yah?”
Seru seorang wanita paruh
baya dari arah belakang Jodi. Semakin lama wanita itu semakin mendekat.
Langkah Jodi jadi terhenti mendengar seruan tersebut. Segera ia
membalikkan badan.
“Dia anak kita, anak yang telah tega kau buang!” sambut Jodi dengan nada agak tinggi.
“Apa?”
“Ya, dan sekarang dia tinggal bersama kita di sini, di rumah yang berhak ia huni!”
“Ta..tapi, dia sudah mati 17 tahun yang lalu!”
“Belum, buktinya 17 tahun setelah itu aku menemukannya!”
Jodi
berlalu meninggalkan Susan dan tidak melanjutkan pembicaraan serius itu
panjang lebar. Sementara Susan masih terdiam, antara shock dan tak
percaya dengan apa yang ia dengar dari mulut Jodi, suaminya.
Dalam
waktu yang bersamaan pula, Lara sedari tadi sudah berdiri di depan pintu
kamarnya. Artinya ia letah merekam semua percakapan antara Jodi dan
Susan dalam memorinya yang benar-benar kosong. Butiran bening mulai
menitik dan membasahi pipi mulusnya. Dadanya terasa sesak dan jantungnya
terasa dihujam belati yang sangat tajam. Lara lemas.
Genap
seminggu sudah rebeca menjalani hari-hari bak seorang putri kerajaan.
Walaupun butuh sedikit adaptasi, namun kehadiran Jodi yang selalu
menemaninya ditengah kesibukan-kesibukan Jodi yang padat membuat Lara
semakin kerasan tinggal di rumah tersebut.
“Lara mau sekolah?”
Pertanyaan singkat itu membuat Lara agak sedikit kaget dan ada rasa gembira di dalamnya. Seketika Lara mengangguk tanda setuju.
Meskipun
Lara dibesarkan dalam kerasnya kehidupan jalan, tetapi itu tak membuat
niatnya surut untuk menuntut ilmu. Selama di jalan ia banyak belajar
dari murid-murid sekolahan yang sesekali menyempatkan waktu untuk
mengajarinya membaca dan menulis. Mata tak ayal, perlahan Lara semakin
pintar. Dan kini ia siap menantang dirinya untuk mengenyam bangku
sekolah.
Karena daya nalar Lara yang cukup baik untuk menangkap
pelajaran, Jodi tidak menyekolahkannya di SLB melainkan di sekolah biasa
seperti anak-anak normal lainnya. Dan tak tanggung-tanggung, SMA negeri
yang berpredikat RSBI pun menjadi pilihannya untuk Lara. Jodi yakin
Lara mampu dan bahkan lebih mampu melebihi kelebihan anak lainnya di
sekolah itu.
“Terimakasih Om.”
Lara tersenyum sembari memperlihatkan kata-kata yang ditulis pada permukaan kertas.
Jodi hanya membalas dengan sesungging senyum dibibirnya.
Jodi
terduduk di sebuah ruangan. Matanya terus memandang serius pada seorang
wanita yang tengah berbicara dihadapannya. Tanpa mengurangi sedikit
rasa hormat, wanita itu berbicara panjang lebar mengenai Lara, anaknya.
“Sepertinya bapak harus segera merujuk Lara pada psikiater ahli.”
“Maksud ibu?”
“Saya tidak tahu dengan cara apa saya harus memberitahu hal ini pada bapak. Tapi bapak tetap harus tahu.”
“Apa yang sebenarnya terjadi?” Jodi makin penasaran.
“Kemarin
kali kelima Lara masuk BK atas kesalahan yang sama. Dua diantara korban
Lara, sekarang tengah menjalani perawatan di rumah sakit. Namun tadi
pagi kami baru mendapat kabar bahwa salah satu dari mereka meninggal
dunia dengan luka yang cukup parah di kepalanya.”
“Ya Tuhan, berita buruk macam apa ini!”
Seru
Jodi, tak percaya dengan apa yang barusan ia simak. Dan sekaligus tak
percaya bahwa seorang Lara yang polos mampu melakukan hal tersebut.
“Maaf
Pak, seburuk apa pun berita ini bapak tetap harus mengetahuinya. Kami
juga tak percaya dengan hal ini. Lara seorang anak berprestasi, ia
sempat menjuarai beberapa olimpiade dalam ajang OSN. Namun sejak
sikapnya berubah beberapa bulan yang lalu, kami menjadi ngeri dan
sekaligus shock olehnya.”
“Lalu, mengapa tak ibu ceritakan dari dulu masalah ini pada saya?”
“Awalnya
memang seperti itu, tapi kami takut. Kami juga telah sepakat untuk
men-dropout Lara dari sekolah. Kami takut kalau-kalau korban semakin
banyak berjatuhan gara-gara satu orang siswa. Namun hasilnya nihil, kami
tetap tidak berani mengingat jabatan bapak selaku orang nomor 1 di kota
ini.”
Wanita itu kian berpasrah di depan Jodi. Sudah sekian jam mereka terjebak dalam kondisi yang amat krodit seperti itu.
Sepertinya
suasana kelas XII IPA1 mendadak seru pagi itu. Terlihat seorang gadis
terduduk dengan darah dikepalanya. Teman-teman lainnya tidak dapat
berbuat apa-apa dan hanya bisa berngeri-ngeri ria menyaksikan kejadian
itu.
Lara hanya menatap gadis itu dengan pandangan tajam seolah penuh
dendam. Kemudian ia berlalu meninggalkan kelas. Tak ada yang tahu
kemana ia pergi.
Suasana mencekam mulai terasa di sekolah terpandang
tersebut. Hingga akhirnya awak media berhasil mengabadikannya di dalam
sebuah surat kabar. Nama Lara Dharmawan seakan menjadi topik hangat yang
tak habis-habis diperbincangkan seluruh media sosial. Kini Lara telah
menjadi buronan para paparazzi.
Menjadi pusat perhatian dalam waktu
yang cukup singkat membuat Lara menjadi semakin tak tenang. Sudah
beberapa minggu ia absen dengan alasan yang tidak jelas. Tentu ini hal
ini sekaligus menjadi ketenangan tersendiri bagi pihak sekolah yang
sudah resah dengan ulah sadis Lara.
Di sebuah rumah sakit besar di daerah Kalijati.
“Apa sebenarnya yang terjadi pada anak saya, Dok?”
Suara
barito Jodi memecah keheningan ruangan yang hampir seluruhnya bernuansa
putih tersebut. Terlihat seorang dokter yang tengah serius menganalisis
hasil psikotes dari anak Jodi, Lara.
“Hasil ini sungguh mencengangkan Pak. Belum pernah saya menghadapi kasus semacam ini selama saya bekerja sebagai psikiater.”
“Memangnya hasilnya seperti apa?”
“Baik akan saya jelaskan, namun sebelumnya bapak harus menyiapkan mental yang cukup untuk mendengar hasil riset ini.”
Jodi membalas dengan anggukan mantap.
“Begini,
anak bapak mengidap penyakit PSIKOPAT. Psikopat itu sendiri berasal
dari kata psyche yang berarti jiwa dan pathos yang berarti penyakit.
Pengidapnya sering disebut SOSIOPAT. Namun tidak berarti orang gila.
Gejalanya sendiri sering disebut dengan psikopati, pengidapnya
seringkali disebut orang gila tanpa gangguan mental. Menurut penelitian
sekitar 1% dari total populasi dunia mengidap psikopati. Pengidap ini
sulit dideteksi karena sebanyak 80% lebih banyak yang berkeliaran
daripada yang mendekam di penjara atau di rumah sakit jiwa, pengidapnya
juga sukar disembuhkan. Dalam kasus kriminal, psikopat dikenali sebagai
pembunuh, pemerkosa, dan koruptor. Namun, ini hanyalah 15-20 persen dari
total psikopat. Selebihnya adalah pribadi yang berpenampilan sempurna,
pandai bertutur kata, mempesona, mempunyai daya tarik luar biasa dan
menyenangkan. Psikopat biasanya memiliki IQ yang tinggi.”
Psikiater
itu memaparkan dengan jelas penyakit yang diidap oleh Lara. Bak
disambar petir di siang bolong. Jodi shock bukan kepalang. Berkali-kali
ia menghela nafas panjang, namun tak juga kunjung menenangkan
kegundahannya. Kali ini ia benar-benar sangsi untuk mengajak Lara
tinggal di rumah itu. Lara benar-benar orang sakit.
“Sudah saya
katakan dari awal, ini butuh mental yang tinggi. Seseorang biasanya
sulit mencerna kenyataan yang amat pahit, yang sabar ya Pak Jodi.”
“ Lalu apa yang harus saya lakukan sekarang terhadap Lara, Dok?”
“Mengingat
ini sangat berbahaya bagi keselamatan bapak sekeluarga, saya sarankan
bapak membawanya ke tempat rehabilitasi mental. Bukan rumah sakit jiwa
ya Pak! Tapi REHABILITASI MENTAL. Oia, di mana anak bapak sekarang? Saya
harap ia tidak berada dekat dengan orang-orang yang dibencinya.”
“Di rumah, Dok.”
Suasana hening sejenak. Dan tiba-tiba....
“Astaga,
di rumah saya bilang, Dok??? Maaf, saya harus segera pulang!” kata
Jodi, sebelum akhirnya ia melesat secepat kilat menuju rumah.
Sementara sang dokter tampak bingung melihat reaksi Jodi.
Jodi
memasuki pekarangan rumahnya dengan tergesa-gesa, seperti sedang
dikejar oleh monster yang menyeramkan. Biasanya ada security yang
menyambutnya, namun rumah tampak dalam keadaan sepi. Ia masih ingat
ketika ia pergi dari rumah dengan meninggalkan Susan, Victor, Ria dan
Lara di rumah. Sebenarnya ia tahu bahwa hubungan istri dan anak-anaknya
tidak terlalu baik dengan Lara, tapi sebelum ia mendapat berita
mencengangkan ini semua tampak baik-baik saja, pikirnya. Sementara Susan
telah berkomitmen bahwa ia tak akan menerima Lara sebagai anak yang
pernah ia lahirkan. Bagi Susan itu adalah aib bagi orang terpandang
seperti dirinya.
BRRRAAKKKKK.......!!!!
Jodi telah memasuki pintu
utama rumahnya yang tak terkunci itu. Namun Jodi agak bersemangat
membukanya hingga terdengar suara bantingan pintu yang cukup keras.
Semua
ruangan di lantai satu telah diperiksa, tak juga ia temui istri dan
anak-anaknya. Jodi menaiki tangga dengan langkah yang semakin
dipercepat. Dan sampailah ia di lantai dua rumahnya. Di sana ada sebuah
kamar mandi besar, 3 kamar, dan sebuah ruang kerja miliknya. Pertama
Jodi memeriksa kamar mandi. Dan...
“Aaaaaaaaggghhhhhhh....!!!”
Jodi
berteriak histeris menyaksikan pemandangan yang amat mengerikan di
depannya. Dua mayat manusia terbujur kaku di tempat yang agak berjauhan.
Kedua mayat itu tak lain adalah security yang selalu setia menjaga
rumah megah itu. Keduanya tewas dengan luka gorok di leher. Ia tak tahu
atau atau mencoba untuk tidak mencari tau siapa gerangan orang sadis
yang tega melakukan hal ini.
Dari kejauhan, tepatnya di kamar nomor 3
paling ujung dari tempatnya sekarang terdengar samar-samar suara
petikan gitar. Ia seolah tau itu adalah Rebeca, namun nada petikan gitar
tersebut terasa sangat asing di telinganya. Seharusnya Lara memainkan
melodi yang gembira seperti ketika ia pertama bertemu lara yang tengah
memainkan gitarnya. Namun yang ia dengar kini adalah melodi menyeramkan
seolah sedang berkabung. Mengapa Lara berubah.
Jodi seolah merasakan
penderitaan yang di alami Lara sejak dulu. Andai saja ia tidak terlalu
sibuk dengan urusan kepolitiknnya, pasti Lara kecil tidak sampai dibuang
oleh Susan. Dan kini semua itu tinggal penyesalan belaka. Dengan
langkah gontai Jodi langsung menuju kamar ketiga yang merupakan sumber
dari bunyi petikan gitar Lara atau bukan Lara yang sebenarnya.
Jodi membuka pintu.
Jiwa Jodi seakan lepas dari badan kasarnya, berkali-kali ia menepuk pipinya ke kanan dan ke kiri. Ini kenyataan.
Pemandangan
yang lebih seram dari pada mayat-mayat security itu kian membuatnya tak
sanggup untuk berdiri dengan kakinya sendiri. Jodi tumbang dan
tertunduk. Ia shock berat.
“Mengapa seperti ini Lara?”
Kalimat bernada lirih terlontar dari bibir Jodi. Kini ia tak punya lagi cukup tenaga untuk membentak bahkan marah.
Sementara Lara tak merespon dan masih tetap betah dengan petikan-petikan gitarnya yang menyeramkan.
Suasana
tersebut bertahan kira-kira sekitar 1 menit sebelum akhirnya kejutan
yang lain mulai menampakkan diri pada Jodi yang ketika itu telah
perpasrah diri menerima kejutan selanjutnya.
“Aku hanya mencoba
menghantar kepergian mereka dengan lagu kematian ini, dan aku harap
mereka tenang di sana. Apa ini salah, ayah?”
Jodi bangkit dari
posisinya yang tertunduk, ia menatap lekat pada Lara dan gitarnya yang
berlumuran darah segar. Sementara Lara menatap tiga wujud yang tak lagi
bernyawa itu :Susan, Victor dan Ria. Jodi pun sekaligus tercengang
karena baru pertama kalinya Lara memanggilnya dengan sebutan AYAH.
“Ka...kau, bisa bicara Lara?”
Suara
parau Jodi tampaknya memaksa Lara untuk turut menatapnya. Namun Lara
tak lagi melanjutkan perkataannya yang cukup lancar itu.
“Apa motif dibalik semua ini? Mengapa kau berubah seperti ini, Nak?” lanjut Jodi.
Lara bangkit dan mendekati Jodi. Ia tersenyum sembari menjawab.
“Tidak ada. Aku hanya ingin mereka bahagia dan tidak terlalu lama menderita di dunia ini dengan rasa dengki dalam diri mereka.”
“Ta..tapi, ini terlalu sadis.....”
“Sadis
ayah bilang? Mana lebih sadis dibanding dengan membuang anak kandung di
tempat pembuangan sampah dan membiarkannya hidup sendiri dikejamnya
kehidupan jalanan???”
Jodi terdiam. Nafasnya terasa tertahan
sejenak dan jantungnya sakit. Seperti ada peluru nyasar yang mengenai
tepat di jantungnya.
“Lagi pula ini tidak sebanding, kehidupanku yang sadis hanya dibayar dengan cairan kental berwarna merah ini. Sungguh tak adil!”
“Lalu, apa yang kau mau sekarang?”
Lara
menatap tajam ke arah kedua bola mata Jodi. Rautnya yang polos kini
menjelma menjadi raut kemurkaan yang tak pernah Jodi bayangkan
sebelumnya.
Lara memeluk Jodi lalu berkata.
“Aku ingin ayah bahagia.... Di sana, dengan m e r e k a....!”
Hening... . . .